Hitler tewas pada tanggal 30 April
1945 di sebuah bunker di Jerman. Begitulah kisah resmi yang dipercayai
oleh para sejarawan. Namun di Indonesia beredar sebuah rumor yang
menyatakan bahwa Hitler
tidak tewas pada tahun 1945. Ia berhasil melarikan diri ke Indonesia,
menjadi dokter di Sumbawa dan meninggal di Surabaya pada tahun 1970.
Benarkah demikian adanya?
Beberapa tahun yang lalu, saya
sering sekali menerima email yang menanyakan soal kebenaran kisah ini.
Pada waktu itu, tentu saja saya tidak bisa menjawabnya tanpa adanya data
yang kuat. Jika ditanya demikian, saya hanya mengatakan: "Kalau ada foto Dr.Poch yang disebut sebagai Hitler, maka saya akan memposting soal ini."
Itu beberapa tahun yang lalu.
Beberapa waktu yang lalu, sudah agak lama, ketika saya sedang pergi ke toko buku, saya melihat sebuah buku yang ditulis oleh KGPH Soeryo Goeritno Msc. Judulnya: Rahasia yang terkuak - Hitler mati di Indonesia.
Ketika saya melihat isinya sekilas, saya melihat foto Dr.Poch. Jadi sekarang saya akan menepati janji yang pernah saya ucapkan.
Mungkin sebagian besar dari kalian sudah
pernah membaca kisah bagaimana Dr. Sosrohusodo berjumpa dengan seorang
dokter bernama Poch yang kemudian diyakininya sebagai Hitler. Namun bagi
yang belum pernah mendengarnya, berikut adalah kutipan dari Vivanews:
"Cerita ini berawal dari sebuat
artikel di Harian Pikiran Rakyat pada tahun 1983. Penulisnya bernama dr
Sosrohusodo -- dokter lulusan Universitas Indonesia yang pernah bertugas
di kapal yang dijadikan rumah sakit bernama 'Hope' di Sumbawa Besar.
Dia menceritakan pengalamannya
bertemu dengan dokter tua asal Jerman bernama Poch di Pulau Sumbawa
Besar tahun 1960. Poch adalah pimpinan sebuah rumah sakit terbesar di
pulau tersebut. Klaim yang diajukan dr Sosrohusodo jadi polemik. Dia
mengatakan dokter tua asal Jerman yang dia temui dan ajak bicara adalah
Hitler di masa tuanya. Bukti-bukti yang diajukan Sosrohusodo, adalah
bahwa dokter tersebut tak bisa berjalan normal --- Dia selalu menyeret
kaki kirinya ketika berjalan.
Kemudian, tangannya, kata
Sosrohusodo, tangan kiri dokter Jerman itu selalu bergetar. Dia juga
punya kumis vertikal mirip Charlie Chaplin, dan kepalanya gundul.
Kondisi ini diyakini mirip dengan gambaran Hilter di masa tuanya -- yang
ditemukan di sejumlah buku biografi sang Fuhrer. Saat bertemu dengannya
di tahun 1960, orang yang diduga Hitler berusia 71 tahun.
Menurut Sosrohusodo, dokter asal
Jerman yang dia temui sangat misterius. Dia tidak punya lisensi untuk
jadi dokter, bahkan dia sama sekali tak punya keahlian tentang
kesehatan. Keyakinan Sosro, bahwa dia bertemu Hitler dan Eva Braun,
membuatnya makin tertarik membaca buku dan artikel soal Hitler. Kata
dia, setiap melihat foto Hitler di masa jayanya, dia makin yakin bahwa
Poch, dokter tua asal Jerman yang dia temui adalah Hitler.
Keyakinannya bertambah saat seorang
keponakannya, pada 1980, memberinya buku biografi Adolf Hitler karangan
Heinz Linge yang diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia oleh Try Budi
Satria. Dalam halaman 59 artikel itu diceritakan kondisi fisik Hitler di
masa tua. "Sejumlah orang Jerman tahu Hitler menyeret kakinya saat
berjalan, penglihatannya makin kabur, rambutnya tak lagi tumbuh. Kala
perang makin berkecamuk dan Jerman terus dipukul kalah, Hitler menderita
kelainan syaraf."
Saat membaca buku tersebut, Sosro
makin yakin, sebab kondisi fisik yang sama dia temukan pada diri Poch.
Dalam buku tersebut juga diceritakan tangan kiri Hitler selalu bergetar
sejak pertempuran Stalingrad (1942 -1943) -- yang merupakan pukulan
dahsyat bagi tentara Jerman. Sosro mengaku masih ingat beberapa
percakapannya dengan Poch yang diduga adalah Hitler. Poch selalu
memuji-muji Hitler. Dia juga mengatakan tak ada pembunuhan di Auschwitz,
kamp konsentrasi yang diyakini sebagai lokasi pembantaian orang-orang
Yahudi. "Saat saya bertanya soal kematian Hitler, dia mengatakan tak
tahu.
Sebab, saat itu situasi di Berlin
dalam keadaan chaos. Semua orang berusaha menyelamatkan diri
masing-masing," kata Sosrohusodo, seperti dimuat laman Militariana.
Sosro mengaku pernah memeriksa tangan kiri Poch yang selalu bergetar.
Saat menanyakan kapan gejala ini mulai terjadi, Poch lalu bertanya pada
istrinya yang lalu menjawab, "ini terjadi ketika Jerman kalah di
pertempuran dekat Moskow. Saat itu Goebbels mengatakan padamu bahwa kau
memukuli meja berkali-kali."
Goebbels yang disebut istri Poch
diduga adalah Joseph Goebbe, menteri propaganda Jerman yang dikenal
loyal dengan Hilter. Kata Sosro, istri Poch, yang diduga Eva Braun,
beberapa kali memanggil suaminya 'Dolf', yang diduga kependekan dari
Adolf Hitler. Usai membaca artikel-artikel tersebut, Sosro mengaku
menghubungi Sumbawa Besar. Dari sana, dia memperoleh informasi dr Poch
meninggal di Surabaya.
Poch meninggal pada 15 Januari 1970
pukul 19.30 di Rumah Sakit Karang Menjangan Surabaya karena serangan
jantung, dalam usia 81 tahun. Dia dimakamkan sehari kemudian di daerah
Ngagel. Sementara istrinya yang asal Jerman pulang ke tanah airnya, Poch
diketahui menikah lagi dengan wanita Sunda asal Bandung berinisial S.
Dia diketahui tinggal di Babakan Ciamis. Setelah menutup mulut, S
akhirnya memberi semua dokumen milik suaminya pada Sosro, termasuk foto
perkawinan, surat izin mengemudi lengkap dengan sidik jari Poch.
Ada juga buku catatatan berisi
nama-nama orang Jerman yang tinggal di beberapa negara, seperti
Argentina, Italia, Pakistan, Afrika Selatan, dan Tibet. Juga beberapa
tulisan tangan steno dalan bahasa Jerman Buku catatan Poch berisi dua
kode, J.R. KepaD No.35637 dan 35638, kode simbol lelaki dan perempuan.
"Ada kemungkinan buku catatatan dimiliki dua orang, Hitler dan Eva
Braun," kata Sosro.
Ada
juga tulisan yang diduga rute pelarian Hitler -- yakni B (Berlin), S
(Salzburg), G (Graz), J (Jugoslavia), B (Belgrade), S (Sarajevo), R
(Rome), sebelum dia ke Sumbawa Besar. Istri kedua Poch, S juga
menceritakan suatu hari dia melihat suaminya mencukur kumis dengan gaya
mirip Hitler. Ketika dia bertanya, suaminya menjawab, "jangan bilang
siapa-siapa." Sosro mengaku tak ada maksud tersembunyi di balik
pengakuannya. "Saya hanya ingin menunjukan Hitler meninggal di
Indonesia," kata dia. Hingga saat ini apakah Hitler tewas di bunker, di
Argentina, Brazil, atau Indonesia, belum bisa dipastikan. Kisah akhir
hayat 'sang Fuhrer' terus jadi misteri."
Pada saat itu, teori Dr.Sosrohusodo
mendapat perhatian cukup luas di media lokal. Bahkan beberapa media
asing turut menayangkan pemberitaan ini.
Ketika saya menjelajah internet untuk
mencari publikasi media mengenai hal ini, agak mengherankan karena
kebanyakan media tidak mencoba untuk mengelaborasinya lebih mendalam.
Inilah salah satu sebab yang membuat saya memutuskan untuk memposting
berita yang sudah cukup basi ini.
Baiklah, pertama, saya tahu, akan sangat
sia-sia jika saya mencoba untuk mendebat argumen Dr.Sosrohusodo karena
hal itu hanya akan menjadi debat teoritis yang jelas tidak akan ada
ujungnya. Saya sendiri tidak pernah mewawancarai Dr.Sosrohusodo, jadi
saya juga tidak bisa memahami lebih dalam dasar yang digunakannya untuk
menarik kesimpulan. Namun, jika saya menggunakan reportase media saja,
maka bukti yang diajukan Dr. Sosrohusodo saya anggap sangat lemah.
Misalnya kutipan mengenai argumen Dr.Sosrohusodo.
"Bukti-bukti yang diajukan Sosrohusodo, adalah bahwa dokter tersebut
tak bisa berjalan normal --- Dia selalu menyeret kaki kirinya ketika
berjalan. Kemudian, tangannya, kata Sosrohusodo, tangan
kiri dokter Jerman itu selalu bergetar. Dia juga punya kumis vertikal
mirip Charlie Chaplin, dan kepalanya gundul. Kondisi ini diyakini mirip
dengan gambaran Hilter di masa tuanya -- yang ditemukan di sejumlah buku
biografi sang Fuhrer. Saat bertemu dengannya di tahun 1960, orang yang
diduga Hitler berusia 71 tahun."
(Notes: Hitler lahir tahun 1889 sehingga pada tahun 1960, ia memang berusia 71 tahun).
Bayangkan, kita bertemu dengan seorang
Jerman tua, pincang, tangan lemah, memiliki kumis seperti Charlie
Chaplin, kepala gundul dan memiliki umur yang sama dengan Hitler. Lalu
kita mengambil kesimpulan kalau orang ini pastilah Hitler.
Jelas cara pengambilan kesimpulan seperti ini adalah sebuah fallacy.
Tetapi anggaplah kalau reportase media
tidak secara lengkap menayangkan argumen Dr Sosrohusodo dan ternyata
memang ia mengambil kesimpulan berdasar pengakuan Dr.Poch beserta
bukti-bukti lainnya, maka dengan demikian, kita boleh beranggapan bahwa
argumen Dr Sosrohusodo sudah tepat.
Kalau begitu bagaimana kita bisa menilai kebenaran klaim ini?
Well,
kita memiliki foto Dr.Poch. Cara yang paling gampang adalah
membandingkan foto Hitler dengan foto Dr.Poch. Dan jika kita beruntung,
kita bisa mematahkan atau membenarkan klaim Dr.Sosrohusodo.
Untuk awalnya, ini dia foto Dr.Poch yang diklaim sebagai Hitler bersama Istrinya yang berasal dari Indonesia.
Sedangkan foto berikut adalah Hitler sendiri.
Setelah
melihat foto tersebut, mungkin kalian akan segera yakin kalau Dr.Poch
bukanlah Hitler karena postur dan wajah yang tidak mirip. Satu-satunya
kesamaan mungkin hanya kumisnya. Tapi tunggu dulu.. postur tubuh dan
wajah seseorang bisa berubah seiring pertambahan usia atau seiring
berkurang dan bertambahnya berat badan. Argumen seperti itu tidak bisa
dipakai.
Kalau begitu argumen apa yang akan kita pakai?
Seperti
yang saya katakan di atas, jika kita beruntung, maka kita bisa
mengambil kesimpulan yang konkrit dari perbandingan foto ini. Dan saya
rasa, kita beruntung kali ini.
Pada
awalnya, saya begitu takjub dengan kesamaan wajah antara Dr.Poch dengan
Hitler sehingga saya hampir yakin kalau keduanya adalah orang yang
sama. Jika kalian tidak percaya, lihatlah foto Hitler berikut ketika ia
masih muda dan kurus, lalu bandingkan dengan foto Dr.Poch.
Hitler adalah pria di sebelah kanan yang berkumis tebal. Bukankah wajahnya sangat mirip dengan Dr.Poch?
Namun
kemudian, saya menyadari satu hal. Ada perbedaan mendasar yang kemudian
membuat saya meragukan kalau keduanya adalah orang yang sama.
Bentuk
tubuh dan bahkan bentuk wajah bisa berubah jika kita bertambah tua,
bertambah kurus atau bertambah gemuk, Tapi ada satu yang tidak akan
berubah.Yaitu Lobule telinga atau Earlobe.
Dr.Poch dan Hitler memiliki Earlobe yang berbeda.
Walaupun
manusia memiliki banyak rupa daun telinga, namun untuk Earlobe,
biasanya para ahli anatomi hanya membaginya menjadi dua bagian besar.
Yaitu Free Earlobe dan Attached Earlobe.
Hitler memiliki Free Earlobe sedangkan Dr.Poch memiliki Attached Earlobe.
Attached
Earlobe artinya ujung daun telinga langsung menyatu dengan sisi wajah
kita. Sedangkan Free Earlobe, ujung daun telinga terlihat seperti
melengkung, menyisakan satu bagian yang "bebas".
Sekarang bandingkan Earlobe Hitler dan Dr.Poch.
Ini perbandingan satu lagi yang lebih jelas karena Dr.Poch terpotret dari samping.
Apakah kalian bisa melihat perbedaannya sekarang?
Apakah kalian bisa melihat perbedaannya sekarang?
Bahkan
kalian bisa melihat kalau bentuk daun telinga kedua orang tersebut
berbeda. Hal ini pun terlihat jelas ketika kita membandingkan foto Poch
dengan Hitler yang masih kurus.
Artinya cuma satu. Dr.Poch bukan Hitler.
Artinya cuma satu. Dr.Poch bukan Hitler.
Lalu, mungkin di antara kalian ada yang bertanya: "Apakah earlobe dapat berubah seiring bertambahnya usia?"
Jawabannya bisa. Namun justru dalam kasus Hitler Poch ini malah memperkuat dugaan kalau keduanya adalah orang berbeda.
Perubahan
pada earlobe terjadi ketika kita bertambah tua. Ketika usia kita
bertambah, terjadi pengurangan produksi kolagen di dalam tubuh sehingga
elastisitas kulit berkurang. Akibatnya earlobe manusia akan menjadi
bertambah kendur. Namun tidak pernah ada kasus Earlobe seseorang berubah dari Attached menjadi Free atau sebaliknya.
Jika
Hitler bertambah tua, maka Free Earlobe yang dimilikinya JUSTRU akan
bertambah kendur sehingga lengkungannya terlihat semakin jelas. Hal ini
tidak bisa kita temukan pada telinga Dr.Poch.
Kalian
bisa melihat perubahan kekenduran earlobe pada aktor Man in Black,
Tommy Lee Jones berikut ini. Bagian yang "bebas" dari earlobenya
terlihat semakin "besar".
Berikut foto Obama sewaktu kecil dan dewasa. Ia memiliki Free Earlobe dan tidak berubah ketika ia dewasa.
Atau
Jimmy Carter, mantan presiden Amerika Serikat. Ia memiliki memiliki
Attached earlobe dan tetap demikian adanya ketika ia berusia lanjut.
Jadi, dengan metode yang sederhana ini, kita bisa menemukan sebuah lubang besar dalam klaim Dr.Sosrohusodo.