Jika Anda mengunjungi Washington DC,
datanglah ke Perpustakaan Kongres (Library of Congress). Lantas,
mintalah arsip perjanjian pemerintah Amerika Serikat dengan suku
Cherokee, salah satu suku Indian, tahun 1787. Di sana akan ditemukan
tanda tangan Kepala Suku Cherokee saat itu, bernama AbdeKhak dan
Muhammad Ibnu Abdullah.
Isi perjanjian itu antara lain adalah hak
suku Cherokee untuk melangsungkan keberadaannya dalam perdagangan,
perkapalan, dan bentuk pemerintahan suku cherokee yang saat itu
berdasarkan hukum Islam. Lebih lanjut, akan ditemukan kebiasaan
berpakaian suku Cherokee yang menutup aurat sedangkan kaum laki-lakinya
memakai turban (surban) dan terusan hingga sebatas lutut.
Cara berpakaian ini dapat ditemukan dalam
foto atau lukisan suku cherokee yang diambil gambarnya sebelum tahun
1832. Kepala suku terakhir Cherokee sebelum akhirnya benar-benar punah
dari daratan Amerika adalah seorang Muslim bernama Ramadan Ibnu Wati.
Berbicara tentang suku Cherokee, tidak
bisa lepas dari Sequoyah. Ia adalah orang asli suku cherokee yang
berpendidikan dan menghidupkan kembali Syllabary suku mereka pada 1821.
Syllabary adalah semacam aksara. Jika kita sekarang mengenal abjad A
sampai Z, maka suku Cherokee memiliki aksara sendiri.
Yang membuatnya sangat luar biasa adalah
aksara yang dihidupkan kembali oleh Sequoyah ini mirip sekali dengan
aksara Arab. Bahkan, beberapa tulisan masyarakat cherokee abad ke-7 yang
ditemukan terpahat pada bebatuan di Nevada sangat mirip dengan kata
”Muhammad” dalam bahasa Arab.
Nama-nama suku Indian dan kepala sukunya
yang berasal dari bahasa Arab tidak hanya ditemukan pada suku Cherokee
(Shar-kee), tapi juga Anasazi, Apache, Arawak, Arikana, Chavin Cree,
Makkah, Hohokam, Hupa, Hopi, Mahigan, Mohawk, Nazca, Zulu, dan Zuni.
Bahkan, beberapa kepala suku Indian juga mengenakan tutp kepala khas
orang Islam. Mereka adalah Kepala Suku Chippewa, Creek, Iowa, Kansas,
Miami, Potawatomi, Sauk, Fox, Seminole, Shawnee, Sioux, Winnebago, dan
Yuchi. Hal ini ditunjukkan pada foto-foto tahun 1835 dan 1870.
Secara umum, suku-suku Indian di Amerika
juga percaya adanya Tuhan yang menguasai alam semesta. Tuhan itu tidak
teraba oleh panca indera. Mereka juga meyakini, tugas utama manusia yang
diciptakan Tuhan adalah untuk memuja dan menyembah-Nya. Seperti
penuturan seorang Kepala Suku Ohiyesa : ”In the life of the Indian,
there was only inevitable duty-the duty of prayer-the daily recognition
of the Unseen and the Eternal”. Bukankah Al-Qur’an juga memberitakan
bahwa tujuan penciptaan manusia dan jin semata-mata untuk beribadah pada
Allah (*)
Bagaimana bisa Kepala suku Indian Cheeroke itu muslim?
Sejarahnya panjang,
Semangat orang-orang Islam dan Cina saat
itu untuk mengenal lebih jauh planet (tentunya saat itu nama planet
belum terdengar) tempat tinggalnya selain untuk melebarkan pengaruh,
mencari jalur perdagangan baru dan tentu saja memperluas dakwah Islam
mendorong beberapa pemberani di antara mereka untuk melintasi area yang
masih dianggap gelap dalam peta-peta mereka saat itu.
Beberapa nama tetap begitu kesohor sampai
saat ini bahkan hampir semua orang pernah mendengarnya sebut saja Tjeng
Ho dan Ibnu Batutta, namun beberapa lagi hampir-hampir tidak terdengar
dan hanya tercatat pada buku-buku akademis.
Para ahli geografi dan intelektual dari
kalangan muslim yang mencatat perjalanan ke benua Amerika itu adalah
Abul-Hassan Ali Ibn Al Hussain Al Masudi (meninggal tahun 957), Al
Idrisi (meninggal tahun 1166), Chihab Addin Abul Abbas Ahmad bin Fadhl
Al Umari (1300 – 1384) dan Ibn Battuta (meninggal tahun 1369).
Menurut catatan ahli sejarah dan ahli
geografi muslim Al Masudi (871 – 957), Khashkhash Ibn Saeed Ibn Aswad
seorang navigator muslim dari Cordoba di Andalusia, telah sampai ke
benua Amerika pada tahun 889 Masehi. Dalam bukunya, ‘Muruj Adh-dhahab wa
Maadin al-Jawhar’ (The Meadows of Gold and Quarries of Jewels), Al
Masudi melaporkan bahwa semasa pemerintahan Khalifah Spanyol Abdullah
Ibn Muhammad (888 – 912), Khashkhash Ibn Saeed Ibn Aswad berlayar dari
Delba (Palos) pada tahun 889, menyeberangi Lautan Atlantik, hingga
mencapai wilayah yang belum dikenal yang disebutnya Ard Majhoola, dan
kemudian kembali dengan membawa berbagai harta yang menakjubkan.
Sesudah itu banyak pelayaran yang
dilakukan mengunjungi daratan di seberang Lautan Atlantik, yang gelap
dan berkabut itu. Al Masudi juga menulis buku ‘Akhbar Az Zaman’ yang
memuat bahan-bahan sejarah dari pengembaraan para pedagang ke Afrika dan
Asia.
Dr. Youssef Mroueh juga menulis bahwa
selama pemerintahan Khalifah Abdul Rahman III (tahun 929-961) dari
dinasti Umayah, tercatat adanya orang-orang Islam dari Afrika yang
berlayar juga dari pelabuhan Delba (Palos) di Spanyol ke barat menuju ke
lautan lepas yang gelap dan berkabut, Lautan Atlantik. Mereka berhasil
kembali dengan membawa barang-barang bernilai yang diperolehnya dari
tanah yang asing.
Beliau juga menuliskan menurut catatan
ahli sejarah Abu Bakr Ibn Umar Al-Gutiyya bahwa pada masa pemerintahan
Khalifah Spanyol, Hisham II (976-1009) seorang navigator dari Granada
bernama Ibn Farrukh tercatat meninggalkan pelabuhan Kadesh pada bulan
Februari tahun 999 melintasi Lautan Atlantik dan mendarat di Gando
(Kepulaun Canary).
Ibn Farrukh berkunjung kepada Raja
Guanariga dan kemudian melanjutkan ke barat hingga melihat dua pulau dan
menamakannya Capraria dan Pluitana. Ibn Farrukh kembali ke Spanyol pada
bulan Mei 999.
Perlayaran melintasi Lautan Atlantik dari
Maroko dicatat juga oleh penjelajah laut Shaikh Zayn-eddin Ali bin
Fadhel Al-Mazandarani. Kapalnya berlepas dari Tarfay di Maroko pada
zaman Sultan Abu-Yacoub Sidi Youssef (1286 – 1307) raja keenam dalam
dinasti Marinid. Kapalnya mendarat di pulau Green di Laut Karibia pada
tahun 1291. Menurut Dr. Morueh, catatan perjalanan ini banyak dijadikan
referensi oleh ilmuwan Islam.
Sultan-sultan dari kerajaan Mali di
Afrika barat yang beribukota di Timbuktu, ternyata juga melakukan
perjalanan sendiri hingga ke benua Amerika. Sejarawan Chihab Addin
Abul-Abbas Ahmad bin Fadhl Al Umari (1300 – 1384) memerinci eksplorasi
geografi ini dengan seksama. Timbuktu yang kini dilupakan orang,
dahulunya merupakan pusat peradaban, perpustakaan dan keilmuan yang maju
di Afrika. Ekpedisi perjalanan darat dan laut banyak dilakukan orang
menuju Timbuktu atau berawal dari Timbuktu.
Sultan yang tercatat melanglang buana
hingga ke benua baru saat itu adalah Sultan Abu Bakari I (1285 – 1312),
saudara dari Sultan Mansa Kankan Musa (1312 – 1337), yang telah
melakukan dua kali ekspedisi melintas Lautan Atlantik hingga ke Amerika
dan bahkan menyusuri sungai Mississippi.
Sultan Abu Bakari I melakukan eksplorasi
di Amerika tengah dan utara dengan menyusuri sungai Mississippi antara
tahun 1309-1312. Para eksplorer ini berbahasa Arab. Dua abad kemudian,
penemuan benua Amerika diabadikan dalam peta berwarna Piri Re’isi yang
dibuat tahun 1513, dan dipersembahkan kepada raja Ottoman Sultan Selim I
tahun 1517. Peta ini menunjukkan belahan bumi bagian barat, Amerika
selatan dan bahkan benua Antartika, dengan penggambaran pesisiran Brasil
secara cukup akurat.
Sequoyah, also known as George Gist Bukti
lainnya adalah, Columbus sendiri mengetahui bahwa orang-orang Carib
(Karibia) adalah pengikut Nabi Muhammad. Dia faham bahwa orang-orang
Islam telah berada di sana terutama orang-orang dari Pantai Barat
Afrika. Mereka mendiami Karibia, Amerika Utara dan Selatan. Namun tidak
seperti Columbus yang ingin menguasai dan memperbudak rakyat Amerika.
Orang-Orang Islam datang untuk berdagang dan bahkan beberapa menikahi
orang-orang pribumi.
Lebih lanjut Columbus mengakui pada 21
Oktober 1492 dalam pelayarannya antara Gibara dan Pantai Kuba melihat
sebuah masjid (berdiri di atas bukit dengan indahnya menurut sumber
tulisan lain). Sampai saat ini sisa-sisa reruntuhan masjid telah
ditemukan di Kuba, Mexico, Texas dan Nevada.
Dan tahukah anda? 2 orang nahkoda kapal
yang dipimpin oleh Columbus kapten kapal Pinta dan Nina adalah
orang-orang muslim yaitu dua bersaudara Martin Alonso Pinzon dan Vicente
Yanex Pinzon yang masih keluarga dari Sultan Maroko Abuzayan Muhammad
III (1362). [THACHER,JOHN BOYD: Christopher Columbus, New York 1950]